- Back to Home »
- PKN »
- Perkembengan Pers di Indonesia
Posted by : Unknown
Senin, 24 November 2014
Perkembengan Pers di
Indonesia
Sejak pemerintahan penjajahan Belanda menguasai Indonesia,
mereka mengetahui dengan baik pengaruh surat kabar terhadap masyarakat
Indonesia. Oleh sebab itu, mereka memandang perlu membuat undang-undang khusus
untuk membendung pengaruh pers Indonesia karena merupakan momok yang harus
diperangi.
1. Pers di
masa pergerakan
Setelah muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal
20 Mei 1908, surat kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih berfungsi
sebagai alat perjuangan. Pers saat itu merupakan “terompet” dari organisasi
pergerakan orang Indonesia.Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam
perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Contoh harian yang terbit
pada masa pergerakan, antara lain:
a. Harian
Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta didirikan
bulan Juni 1920.
b. Harian
Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
c. Harian
Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
d. Harian
Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.
e. Majalah
mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno.
f. Majalah
berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.
2. Pers di
masa penjajahan Jepang
Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi
alat pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang. Beberapa harian yang muncul
antara lain:
a. Asia
Raya di Jakarta
b. Sinar
Baru di Semarang
c. Suara
Asia di Surabaya
d. Tjahaya
di Bandung
Pers nasional masa pendudukan Jepang mengalami
penderitaan dan pengekangan lebih dari zaman Belanda. Namun ada beberapa
keuntungan bagi wartawan atau insan pers yang bekerja pada penerbitan Jepang,
antara lain:
a.
Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat yang
digunakan jauh lebih banyak daripada pada masa Belanda.
b.
Penggunaan bahasa Indonesia makin sering dan luas. Karena bahasa Belanda
berusaha dihapus oleh Jepang, hal ini yang nantinya membantu bahasa Indonesia
digunakan sebagai bahasa nasional.
c. Adanya
pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh
sumber resmi Jepang. Kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa Jepang
memudahkan pemimpin bangsa memberi semangat untuk melawan penjajah.
3. Pers di
masa revolusi fisik
Periode ini antara tahun 1945 sampai 1949 saat itu
bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih tanggal
17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki sehingga terjadi perang
mempertahankan kemerdekaan. Saat itu pers terbagi menjadi dua golongan yaitu:
a. Pers
yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belanda yang dinamakan
Pers Nica (Belanda).
b. Pers
yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau disebut Pers Republik.
Kedua golongan ini sangat berlawanan.Pers Republik
yang disuarakan kaum Republik berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan
menentang usaha pendudukan sekutu.Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat agar
menerima kembali Belanda.
Contoh koran Republik yang muncul antara lain:
harian Merdeka, Sumber, Pemandangan, Kedaulatan Rakyat, Nasional, dan Pedoman.
Pers Nica antara lain: Warta Indonesia di Jakarta, Persatuan di Bandung, Suluh
Rakyat di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, dan Mustika di Medan. Pada masa
ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Pengusaha Surat Kabar (SPS)
lahir, kedua organisasi ini mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pers
Indonesia.
Untuk menangani pers, pemerintah mcmbentuk Dewan
Pers tanggal 17 Maret 1959. Dewan terdiri dari orang-orang persuratkabaran,
cendekiawan, dan pejabat pemerintah, dengan tugas:
a. Penggantian
undang-undang pers kolonial.
b.
Pemberian dasar sosial-ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia
(artinya fasilitas kredit dan mungkin juga bantuan pemerintah).
c.
Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia.
d.
Pengaturan yang memadai tentang kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan
Indonesia (tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukum, etika
jurnalistik, dll).
4. Pers di
era demokrasi (1949-1959)
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek
samping dari keluhan para wartawan terhadap pers Belanda dan Cina. Pemerintah
mulai mencari cara membatasi penerbitan karena negara tidak akan membiarkan
ideologi “asing” merongrong Undang-Undang Dasar. Akhirnya pemerintah melakukan
pemberdelan pers dengan tindakan yang tidak terbatas pada pers asing saja.
5. Pers
dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI
menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu
pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman,
Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini
tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT
Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu
disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan
rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan
sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan
bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang
Maha Esa”
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali
dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan
dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang
tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers
nasional”.Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi
perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk:
digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa
Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers.
Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena
sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh
penguasa Orde Lama bertambah dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan.
Tindakan penekanan ini merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan
menurun.Lebih-lebih setelah percetakan diambil alih pemerintah dan wartawan
wajib untuk berjanji mendukung politik pemerintah, sehingga sangat sedikit
pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers.
6. Pers di
era demokrasi Pancasila dan Orde lama
Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa
akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi
Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan
antusias sehingga lahirlah istilab pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya
pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers
(Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang
orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan
UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan
bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang
konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika
dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun
1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa
setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif
dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang
lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima
Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman
Orde Lama).
Prof. Oeraar Seno Adji, SH, dalam bukunya Mas Media
dan Hukum menggambarkan kebebasan pers di alam demokrasi pancasila dengan
karakteristik berikut:
a.
Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan
menyatakan
pendapat dan bukan kemerdekaan untuk memperoleh alat
dari expression, seperti dikatakan oleh negara sosialis.
b. Tidak
mengandung lembaga sensor preventif.
c.
Kebebasan bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak, dan bukan tidak
bersyarat sifatnya.
d. la
merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas tcrtentu, dan syarat-syarat
limitatif dan demokratis, seperti diakui oleh hukum internasional dan ilmu
hukum.
e.
Kemerdekaan pers dibimbing oleh rasa tanggung jawab dan membawa
kewajiban yang untuk pers sendiri disalurkan melalui beroepsthiek mereka.
f. la
merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah
negatif
karakternya, melainkan ia positif sifatnya, bila ia
menyampaikan wettigeinitiativen dari pemerintah.
g. Aspek
positif di atas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa
posisinya subordinated terhadap penguasa politik.
h. Adalah suatu kenyataan bahwa aspek positif jarang
ditemukan kaum liberatarian sebagai unsur esensial dalam persoalan
mass-communication.
i. Pernyataan bahwa pers tidak subordinated kepada
penguasa politik berarti bahwa konsep authoritarian tidak acceptable bagi pers
Indonesia.
j. Konsentrasi perusahaan pers bentukan dari chains
yang bisa merupakan ekspresi dari kapitalisme yang ongebreideld, merupakan
suatu hambatan yang deadwerkelijk dan ekonomis terhadap pelaksanaan ide
kemerdekaan pers. Pemulihan suatu bentuk perusahaan, entah dalam bentuk
co-partnership atau co-operative atau dalam bentuk lain yang tidak memungkinkan
timbulnya konsentrasi dari perusahaan pers dalam satu atau beberapa tangan
saja, adalah perlu.
k. Kebebasan pers dalam lingkunganbatas limitative
dan demokratis, dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam negara
demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers mereka.
l.
Konsentrasi perusahaan yang membahayakan performance dari pers
excessive, kebebasan pers yang dirasakan berlebihan dan seolah memberi hak
kepada pers untuk misalnya berbohong (the right to lie), mengotorkan nama orang
(the right to vility), the right to invade . privacy, the right to distort, dan
lainnya dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers sendiri. la memberi
ilustrasi pers yang bebas dan bertanggung jawab (a free and responsible press).
7.
Kebebasan pers di Era Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan
mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan,
termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32
tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa
ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional
kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi,
keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal
reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid
baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa
kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya
kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya
mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan
penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan
hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi
sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi.
Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai
mnejadi saksi di pengadilan.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No.
40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. Memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
b.
Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum
dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c.
Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan
benar.
d.
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan
keadilan dan kebenaran
KESIMPULAN
Pers di masa pergerakan yang dikeluarkan orang Indonesia
lebih berfungsi sebagai alat perjuangan,pers juga menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam
perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.
Sejak
masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal
ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan
rakyat Indonesia dan sampai saat ini perkembangan pers di Indonesia terus
berjalan seiring berjalannya waktu.
Yang Sering Dilihat !
-
LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN Susunan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah...
-
KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat meny...
-
PROGRAM PENGOLAH KATA DAN ANGKA 1. MICROSOFT WORD ( Program Pengolah Kata ) Sebagaimana yang kita ketahui, MS WORD diperguna...
-
PENDAHULUAN Keberadaan hukum internasional dalam tata pergaulan internasional sesungguhnya merupakan konsekuensi dari adanya hubungan...
-
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu dalam konsep sosiologi, individu lebih cenderung pada subyek yang melakukan sesuatu, subj...